Aku masih ingat aroma hujan pada sore ketika aku pertama kali bertemu Dia—Nayla. Hujan turun seperti tirai tipis yang menggantung antara kenyataan dan mimpi. Jalanan basah berkilau oleh lampu toko, dan aku yang saat itu baru pulang dari perpustakaan kampus memilih berteduh di sebuah kedai kecil dekat halte. Di sana, di antara suara sendok yang beradu dengan gelas dan denting hujan yang jatuh di atap seng, aku melihatnya. Duduk sendirian, memakai sweater abu-abu dengan rambut yang diikat sederhana. Ia memegang sebuah buku yang sampulnya sudah lusuh, seolah telah dibaca berkali-kali tanpa rasa bosan.
Sejujurnya, aku bukan tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta. Hidupku selama ini lurus-lurus saja—kuliah, organisasi, pulang, belajar, dan tidur. Tidak ada hal dramatis seperti cinta pandangan pertama yang selama ini hanya kubaca di novel. Tapi sore itu semuanya berbeda. Tatapannya ketika ia mengangkat wajah dan melihat ke arahku terasa seperti sesuatu yang menyentuh bagian terdalam diriku.
“Ada kursi kosong?” tanyaku sambil menunjuk tempat di hadapannya.
Dia mengangguk. “Silakan.”
Suara itu lembut, tapi tegas. Dan entah bagaimana, dunia rasanya mengecil hanya menjadi dua kursi, satu meja kayu, dan hujan yang memisahkan kami dari dunia luar.
“Buku bagus?” tanyaku, mencari topik pembicaraan.
Dia tersenyum kecil, mengangkat buku itu ke arahku. “Tentang seseorang yang memilih pergi karena cinta yang terlalu besar. Ironis ya? Cinta besar sering kali tidak butuh tinggal.”
Seketika aku tertawa kecil. “Kau terdengar seperti tokoh utama novel sedih.”
“Aku hidup seperti itu, mungkin,” jawabnya.
Kami mengobrol lama, lebih lama dari seharusnya. Tentang buku, film, perjalanan, dan … tentang Tuhan. Dia seorang muslimah, taat, dengan jilbab yang selalu ia rapikan setiap kali tertiup angin. Sedangkan aku, seorang nasrani yang tumbuh dalam keluarga yang pergi ke gereja setiap Minggu. Perbedaan itu kami sadari sejak awal, tapi entah mengapa tidak terasa sebagai jurang. Mungkin karena kami tidak mencoba mengukurnya, hanya menikmati waktu yang diberikan.
Sejak hari itu, kami sering bertemu. Awalnya tidak sengaja, lalu sengaja pura-pura tidak sengaja. Kadang dia bilang, “Aku lewat sini karena habis beli buku,” padahal aku tahu perpustakaan tidak buka hari itu. Kadang aku berkata, “Aku kebetulan lagi dekat sini,” padahal aku naik tiga kali angkot hanya untuk melihatnya.
Kami tertawa atas kebohongan kecil itu. Karena kami tahu, kami sedang saling mencari.
Waktu berjalan, perasaan tumbuh, dan kami mulai menyebut pertemuan itu sebagai kencan. Walau tanpa sentuhan, tanpa genggaman tangan, aku tetap merasa lengkap ketika berjalan di sampingnya. Ada batas-batas yang kami jaga, bukan karena tidak ingin melanggar, tapi karena kami ingin menghormati perbedaan yang ada di antara kami.
Suatu malam, kami duduk di taman kota. Lampu-lampu kuning menyala redup, dan suara pedagang kaki lima bersahut-sahutan di kejauhan. Nayla menatap langit, seolah mencari jawaban yang tak pernah selesai.
“Kamu pernah takut jatuh cinta, Dan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menarik napas. “Kenapa harus takut? Bukankah cinta itu menyembuhkan?”
“Tidak semua,” jawabnya lirih. “Ada cinta yang justru membuat kita kehilangan diri.”
Aku menoleh padanya. Mata itu berkaca-kaca. Dan saat itulah aku tahu—dia pun merasakan beban yang sama.
“Apa kamu menyesal bertemu aku?”
Dia menggeleng pelan. “Menyesal itu jika aku berharap tidak pernah mengenalmu. Tapi aku tidak ingin begitu. Aku hanya … takut berharap lebih.”
Kami terdiam cukup lama untuk mendengar daun kering jatuh menyentuh tanah. Aku ingin menggenggam tangannya, tapi aku tahu itu tidak akan menyelesaikan apa pun.
“Nay,” kataku lembut, “aku tahu kita berbeda. Tapi jika cinta ini bisa diperjuangkan, aku ingin mencobanya.”
Dia menoleh, matanya menemui mataku. “Apa kamu siap menghadapi dua keluarga yang mungkin tidak merestui? Dunia yang akan mengatakan kita salah? Dan Tuhan yang mungkin menempatkan kita pada dua jalan yang tidak pernah bertemu?”
Kalimat itu seperti pisau. Pelan, tapi menembus.
Namun aku tidak ingin menyerah. “Kita berdoa. Kita mencari jalan. Jika Tuhan memang ingin kita bersatu, pasti ada cara.”
Dia tersenyum sedih. “Dan bagaimana jika tidak?”
Aku tidak punya jawabannya. Tapi aku tahu, cinta kami saat itu indah—meski rapuh.
Hubungan itu berjalan lama, lebih lama dari yang kupikirkan. Kami melewati ujian semester, sibuk dengan skripsi, merayakan ulang tahun dengan kejutan sederhana. Ada hari-hari ketika kami tertawa sampai perut sakit. Ada pula hari ketika kami diam berjam-jam karena takut membahas masa depan.
Suatu hari, setelah wisuda, aku memberanikan diri datang ke rumahnya. Membawa kue dan bunga sederhana, berharap bisa memperkenalkan diri dengan sopan. Orang tuanya menerima dengan baik, tapi aku melihat tatapan hati-hati yang tidak bisa kusembunyikan.
Ayahnya bertanya tanpa basa-basi, “Kamu Kristen, ya?”
Aku mengangguk.
Dia menatapku lama, lalu berkata, “Kamu anak baik. Tapi kamu tahu aturan agama kami tentang pernikahan, bukan?”
Aku tahu. Bahkan terlalu tahu.
Malam itu aku pulang dengan dada seperti diremas. Nayla mengirim pesan: Maaf jika ayah membuatmu sedih. Tapi beliau hanya ingin aku bahagia.
Kamu bahagia bersamaku? tulisku.
Ada jeda panjang sebelum ia membalas. Ya. Tapi kebahagiaan kadang tidak cukup kuat melawan aturan.
Aku ingin marah. Bukan pada Nayla, bukan pada ayahnya, tapi pada kenyataan bahwa cinta kami terjepit di antara dua keyakinan yang sama-sama tidak boleh dipaksa. Aku menangis malam itu, diam-diam, agar tidak terdengar oleh siapa pun.
Hubungan kami mulai diuji. Ketika teman-temannya mulai bertanya kenapa ia tidak mencari pasangan seiman. Ketika keluargaku bertanya kapan aku akan mengenalkan perempuan yang “bisa dibawa ke gereja”. Tekanan itu tumbuh seperti dinding yang makin lama makin tinggi.
Namun kami tetap berusaha. Kami ikut diskusi, membaca artikel, bertemu konselor. Kami mencoba memahami bagaimana cinta bisa berjalan berdampingan dengan iman. Tapi semakin kami belajar, semakin kami sadar bahwa takdir tidak selalu memihak perasaan.
Pada suatu senja, di tempat kami pertama kali bertemu, Nayla memintaku datang.
Dia menatapku dengan mata yang bengkak, seolah semalam ia bertengkar hebat dengan mimpinya sendiri.
“Daniel…” suaranya serak. “Aku akan dilamar seseorang yang dipilih keluargaku.”
Jantungku seakan berhenti berdetak. “Kamu… setuju?”
Dia menggigit bibirnya, menahan air mata. “Aku harus memilih jalan yang lebih mudah. Jalan yang tidak membuat orang tuaku menangis tiap malam.”
“Kita bisa memperjuangkan ini!” suaraku pecah.
“Aku sudah berjuang, Dan. Bersamamu. Selama bertahun-tahun. Tapi aku lelah menjadi anak yang dianggap membangkang karena cinta.”
Aku menggeleng, meminta dunia berhenti. “Jadi kamu memilih untuk melepaskan?”
“Aku memilih untuk patuh.”
Aku memejamkan mata. Rasanya seperti kehilangan cahaya. “Dan aku?”
“Kamu doa yang tidak menemukan rumahnya,” jawabnya sambil menangis. “Kamu cinta yang bersandar sebentar, tapi tidak bisa menetap.”
Air mataku jatuh pelan. Aku ingin memeluknya, tapi kami punya batas. Batas yang selama ini kami jaga dengan hormat.
“Kita pernah bahagia, kan?” tanyanya lirih.
“Lebih dari bahagia.” Suaraku retak. “Kamu adalah bagian terbaik dalam hidupku, Nay.”
Dia meraih tanganku, kali pertama dan terakhir. Hangat, tapi terasa seperti perpisahan yang diukir di kulit.
“Aku akan selalu mendoakanmu,” katanya.
“Kalau nanti kamu bahagia, jangan lupakan aku,” ucapku.
Dia tersenyum, tapi sedih. “Dan kalau kamu bertemu perempuan yang bisa bersamamu tanpa dinding ini, cintailah dia dengan cara terbaik. Seperti kamu mencintaiku.”
Hujan turun tiba-tiba, sama seperti hari kami bertemu. Tapi kali ini dinginnya tidak romantis. Dingin ini menusuk seperti pisau yang mengingatkan: beberapa cinta diciptakan untuk tumbuh, bukan untuk berakhir bersama.
Kami berdiri lama dalam hujan itu. Tidak mengatakan apa pun lagi. Karena tidak ada kata yang bisa memperbaiki hati yang sudah patah.
Kemudian dia pergi. Tidak menoleh. Dan aku membiarkannya, karena cinta sejati bukan soal memiliki—tapi merelakan ketika takdir berkata begitu.
Tahun berlalu. Aku bekerja di kota lain. Hidupku berjalan, tapi ada sudut hati yang tetap memanggil namanya. Kadang aku melihat perempuan berjilbab abu-abu di kereta dan jantungku berdebar, berharap itu dirinya. Namun setiap kali kudekati, bukan dia.
Suatu pagi, aku menerima undangan pernikahan lewat pesan. Aku membaca namanya. Nayla & Arya. Tanganku gemetar. Aku tersenyum meski hati bergetar seperti kaca retak.
Aku tidak datang. Aku hanya duduk di kamar, memandang hujan turun dari balik jendela. Membuka buku lama yang pernah ia pinjamkan. Di halaman terakhir, ia menulis pesan:
Jika suatu hari kamu membaca ini tanpa aku di sampingmu, jangan menangis. Karena cinta kita telah bekerja seperti seharusnya — mengajarkan cara merelakan.
Aku menangis lama, sampai malam menelan suara. Bukan karena aku menyesal mencintainya, tapi karena aku tahu cinta kami akan terus hidup dalam kenangan yang tidak mungkin hilang.
Kini setiap hujan turun, aku selalu mengenangnya. Cinta yang lembut, tulus, tapi terhalang tembok yang tak mungkin kami panjat. Cinta yang tidak salah, tapi tidak bisa dipertahankan tanpa luka yang lebih dalam.
Orang bilang waktu menyembuhkan segalanya. Tapi aku tahu beberapa luka tidak untuk hilang, hanya untuk diterima sebagai bagian dari hidup.
Nayla mungkin kini bahagia bersama seseorang yang seiman, yang bisa menuntunnya dalam doa yang sama. Sedangkan aku? Aku masih berdoa setiap malam, bukan agar dia kembali, tapi agar ia selalu tersenyum dalam hidupnya.
Karena cinta terbesar terkadang bukan soal memiliki seseorang di sampingmu, tapi merestui kebahagiaannya meski bukan denganmu.
Dan aku, Daniel, menyimpan cinta itu sebagai kisah yang akan selalu kuceritakan pada hujan.Sebuah cinta yang pernah begitu indah… tapi berakhir hanya sebagai doa yang tidak menemukan rumahnya.
